IKKPAS Desak Perusak Kawasan Puncak Di Adili
-->

Advertisement


IKKPAS Desak Perusak Kawasan Puncak Di Adili

LKI CHANNEL
09 February 2021

LKI-CHANNEL , BOGOR


Masifnya alih fungsi lahan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung menyebabkan hampir seluruh kawasan Puncak berada dalam kondisi kritis meliputi wilayah Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Hal itu dikatakan Ketua Umum Ikatan Komunitas Kawasan Puncak dan Sekitarnya (IKKPAS) Iman Sukarya, pada Selasa (9/02/2021)


" Banjir bandang yang menerjang perumahan pegawai perkebunan teh Gunung Mas PTPN VIII beberapa waktu lalu dan sejumlah lokasi lain di kawasan Puncak itu akibat kondisi tanah yang mudah lepas atau gugur, hal itu terjadi akibat daya resap air hanya sekitar 10 persen," ujarnya.


Ia menambahkan, di kawasan Puncak terlalu banyak permasalahan yang semestinya bisa dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor maupun pihak PTPN VIII sebagai pihak yang diberikan wewenang dalam mengelola lahan hampir 1.623 hektar lahan oleh Negara.


" Dari 1.623 hektar lahan PTPN VIII, hampir 291 hektar dikuasai secara ilegal oleh warga setempat termasuk pejabat negara karena dibiarkan terbengkalai atau tidak maksimal dalam pengelolaan. Mirisnya lagi, jual beli tanah negara itu berlangsung sejak lama dan melibatkan banyak pihak," imbuhnya.


Karena itu, Iman mendesak aparat penegak hukum bisa bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perusakan kawasan puncak tanpa pandang bulu. Apalagi, kata dia, pasal 60 ayat 2 UU Nomor 37 tahun 2014 mengatur bahwa siapapun yang sengaja melakukan Konversi Lahan Prima di kawasan lindung yang mengakibatkan degradasi berat Lahan Prima dipidana paling lama 5 tahun dan denda Rp7 Miliar.


" Aturannya kan sudah ada, tinggal keinginan atau keberanian dalam menjalankan amanat Undang-undang. Semua pihak yang terlibat baik yang merusak (alih fungsi,red) ataupun yang lalai dalam mengelola sehingga alih fungsi terjadi harus diproses hukum," pintanya.


Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dan Sosial, Rico Pasaribu mengatakan, memburuknya kawasan puncak tak lepas dari karut-marutnya tata kelola pertanahan termasuk banyaknya intitusi pemerintah yang terlibat didalamnya. Direktur Forum Kajian Publik (Forpublik) ini mencontohkan, luasan areal HGU milik perkebunan PTPN ataupun swasta yang berkurang akibat banyaknya pendirian bangunan di kawasan tersebut.


" Coba saja kita lihat di kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Telaga Warna berdiri setidaknya ada 9 resort dan 1 restoran ditepi telaga,  bukannya itu masuk area hutan lindung tapi kenapa Kementerian LHK memberikan izin bagi investor sehingga bisa mendirikan resort dipinggir telaga?," kata Rico.


Ia menegaskan, saat ini yang dibutuhkan adalah penegakan hukum agar alih fungsi lahan dapat dikendalikan. Selain itu, dirinya pun mendesak agar proses pelaporan sejumlah pihak yang menyerobot lahan negara oleh PTPN VIII ke Polda Jabar segera ditindaklanjuti.


" Kan sekarang PTPN VIII sudah melaporkan puluhan pemilik tanah hasil penyerobotan lahan negara yang notabene nya adalah warga Jakarta sedang berjalan, jadi aparat penegak hukum harus bertindak tegas. Proses hukumnya harus diketahui publik agar tidak ada asumsi kalau pelaporan yang dilakukan hanya Retorika Belaka," tandasnya. 

(FAI/HER)